Rabu, 07 Mei 2014

PERLUASAN KOTA dan SEWA-MENYEWA TANAH

Kemajuan-kemajuan pesat telah di peroleh dalam memahami proses urbanisasi dan perubahan struktur social kota. Namun demikian ada satu segi yang di abaikan yaitu pemilikan tanah di kota. Hal ini lebih mengherankan lagi karena begitu banyak telaah yang telah di lakukan megenai sewa menyewa tanah di desa. Baik telaah sosiologi klasik seperti “the city” Max Weber, maupun telaah ekologi tidak member tekanan berat kepada masalah kepemilikan dan jual beli tanah di daerah perkotaan.
            Telaah modern seprti analisa wilayah social dari Shevky Bell telah memperkenalkan banyak variable dan analisa factor mengenai itu. Telaah awal dari Shevky Bell, maupun telaah yang lebih baru dan luas seperti yang di lakukan Berry dan Spodek (1971) tentang ekologi factor kota-kota besar india, telah memperkenalkan pemilikan tanah sebagai salah satu variable utamanya.
            Karya – karya umum yang menelaah bidang urbanisasi dalam Negara-negara baru berkembang mengabaikan sama sekali masalah pemilikan tanah. Tidak adanya perhatian ini sulit di terangkan. Pasti terdapat banyak masalah-masalah politik atau social yang berkaitan dengan pemilikan tanah kota. Keresahan kota sering di dasarkan atas sengketa antara pemilik dan penyewa tanah. Perencanaan kota sering terhambat oleh para pemilik tanah yang kuasa. Banyak korupsi besar-besaran terjadi dalam hubungan dengan masalah tanah kota dan perencanaan kota. Meningkatnya spekulasi tanah, dan sebagai akibatnya timbullah perbincangan yang semakin sering tentang perlunya menasionalisasi tanah kota ke depan.


Perluasan kota dan pengkaplingan tanah
            Para ekolog kota berpendapat perlu membedakan dua segi utama dari proses urbanisasi yaitu “perluasan dan agregasi” yang pertama terutama merujuk pada pertumbuhan ruang lingkup kompleks kota, dan yang kedua pada peningkatan konsentrasi penduduk di wilayah kota.
            Perluasan kota bersamaan dengan pengkaplingan dan pembagian pemilikan tanah, proses pengkaplingan di wilayah perkotaan ini menghasilkan suatu pemusatan dari penempatan atas tanah pinggiran kota sedangkat di pusat kota mengalami tingginya harga sewa menyewa.
            Ketika kota meluas ke daerah pinggiran, pertama sekali terjadi pembagian tanah yang luas. Namun kemudian terjadi periode singkat pengumpulan kembali, ketika para pembangun kota memborong tanah untuk perumahan. Akibatnya menurut Wolf terjadi banyak sekali pemilikan tanah kecil, sementara pengumpulan kembali hanya terjadi sementara.
Suatu wilayah yang baru saja berkembang menjadi pusat kota tambahan terdapat suatu pola yang agak sama. Pembagian tanah selalu mendahului perkembangan kota. Walaupun pada kesempatan tertentu, perkembangan kota yang di harapkan tidak akan terjadi sekaligus seperti di tunjukan oleh telaah Parson.
Perluasan kota dan spekulasi tanah
            Di banyak Negara berkembang, urbanisasi berlangsung tanpa industrialisasi dan melampaui tingkat secara normal dapat di imbangi oleh struktur ekonomi dan social interen dari Negara-negara bersangkutan. Kota-kota menyedot sumber-sumber alami dari wilayah perdesaan alam bentuk pendatang-pendatang baru atau pengiriman bahan-bahn pangan. Sedikit sekali umpan baliknya kepada daerah perdesaan dalam bentuk penanaman modal swasta atau subsidi pemerintah. Tekanan atas tanah kota dengan demikian meningkat, tidaknya oleh bertambahnya penduduk kota, tetapi juga oleh kurangnya alternative terhadap kesempatan penanaman modal.
            Pelembagaan spekulasi tanah mengurangi kepinggiran desa kota, karena daerah-daerah ini cenderung menjadi objek spekulasi tanha, dan bukan objek perluasan serta pembangunan kota ini antara lain mengakibatkan berlebihnya kepadatan penduduk di pusat kota dan terbentuknya daerah-daerah miskin dengan kelas pekerja. Akibat lain dari spekulasi tanah dan peningkatan harga tanah mungkin adalah perluasan daerah liar (yaitu dimana norma-norma kepemilikan tanah di tegakkan) dan pembangunan lompak katak.

Sewa-menyewa Tanah
            Sebagian banyak masyrakat agraris secara umum mereka sebagai pemilik tanah yang  tinggal jauh dari tempatnya. Dan ketika tterjadi perkembangan ekonomi maka tanah-tanah yang berada di pinggiran kota akan di miliki oleh elite-elite kota. Di Asia Tenggara, dalam masa colonial Birma, bidang-bidang tanah pertanian yang luas di ambil oleh kaum chetiar yang tinggal di Ragoon dan nasionalis Birma yang awal sangat banyak memusatkan perhatian pada masalah persewaan Tanah ( mahajani, 1960:68).
            Dampak spekulasi tanah oleh elite yang tinggal di kota terhadap tanah perdesaan sekeliling kota, dapat juga di perlihatkan oleh contoh yang lebih baru di Thailand dan Indonesia. Ketika para elite dari kota Thailand memborong tanah, Akibanya semakin  meningkat keekurangan tanah dan tumbuhnya lapisan proletariat desa di sekitar Bangkok. Dan hal ini di perkuat oleh laporan FAO, UNDP dan  Bangkok Bank yang menyatakan sewa menyewa di pusat kota semakin meluas, terutama karena spekulasi tanah umumnya oleh penduduk kota. Dan akhir-akhir ini sewa menyewa tanah di Thailand tidak parah lagi. Pembahasan mengenai persewaan tanah tanpa mempertimbangkan soal urbanisasi dan struktur social perkotaan akan menyesatkan.
            Di Indonesia, spekulasi tanah meraja lela di Jakarta dan sekitarnya. Ternyata para pegawai tinggi pemerintah dan para perwira militer sekarang terlibat dalam pemborongan tanah pertanian di desa-desa.

Perubahan konsep pemilikan Tanah
            Dalam proses spekulasi tanah, suatu elite kota pemilik tanah berusaha menjangkau daerah pinggiran kota dan lebih jauh lagi. Proses perluasan kota dan meluasnya secara fisik wilayah-wilaya yang di bangun, selama ini telah di analisa dalam pengertian meningkatnya pembagian tanah di daerah pinggiran kota dan perluasan wilaya kekuasaan elite kota pemilik tanah. Selama abad pertengahan di eropa dan masih banyak bagian Asia dan Afrika dewasa ini, tanah lebih di kuasai untuk di gunakan, bukan untuk “dimiliki”(vance 1971:107) hak-hak guna tanah, adalah bagian integral dari kewarganegaraan, maupun sebagai tanda keanggotaan seseorang dalam kelompok kekeluargaan.
            Salah satu di antara tugas pertama yang dilakukan oleh suatu pemerintah colonial adalah pengukuran dan pendaftaran tanah di kota. Hasil perkenalan konsep harta milik menurut pandangan Barat ini biasanya bewujud system ganda tentang hak tanah yang membedakan antara hak harta pribadi orang Barat di kota dan “Hak tanah Pribumi” wilayah perdesaan.
            Di pihak lain, hak-hak tanah menurut hokum adat di beberapa daerah Indonesia, jauh lebih kuat dari yang di perkirakan semula dan lebih menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi baru urbanisasi dan kepadatan kepadatan penduduk kota. Dengan meningkatnya kekuasaan social dan ekonomi kelas atas kota dan upaya-upaya spekulatifnya,hak-hak tanah pra-kapitalis di kurangi dan akibatnya kondisi social dan ekonomi golongan petani pedesaan pinggiran kota menjadi melemah. Akibat yang sering terjadi dari perkembangan ini adalah bercamburnya system sewa menyewa tanah kota, yang tidak mempunyai dasar hukum yang nyata.
            Penangganan yang terbatas dari masalah yang sangat kompleks ini hanya di maksudkan untuk memberikan petunjuk pendahuluan mengenai masalah-masalah yang bersangkutan dan untuk menarik perhatian terhadap perlunya diadakan telaah lebih lanjut secara lebih terperinci.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar