Kemajuan-kemajuan
pesat telah di peroleh dalam memahami proses urbanisasi dan perubahan struktur
social kota. Namun demikian ada satu segi yang di abaikan yaitu pemilikan tanah
di kota. Hal ini lebih mengherankan lagi karena begitu banyak telaah yang telah
di lakukan megenai sewa menyewa tanah di desa. Baik telaah sosiologi klasik
seperti “the city” Max Weber, maupun telaah ekologi tidak member tekanan berat
kepada masalah kepemilikan dan jual beli tanah di daerah perkotaan.
Telaah modern seprti analisa wilayah
social dari Shevky Bell telah memperkenalkan banyak variable dan analisa factor
mengenai itu. Telaah awal dari Shevky Bell, maupun telaah yang lebih baru dan
luas seperti yang di lakukan Berry dan Spodek (1971) tentang ekologi factor
kota-kota besar india, telah memperkenalkan pemilikan tanah sebagai salah satu
variable utamanya.
Karya – karya umum yang menelaah
bidang urbanisasi dalam Negara-negara baru berkembang mengabaikan sama sekali
masalah pemilikan tanah. Tidak adanya perhatian ini sulit di terangkan. Pasti
terdapat banyak masalah-masalah politik atau social yang berkaitan dengan
pemilikan tanah kota. Keresahan kota sering di dasarkan atas sengketa antara
pemilik dan penyewa tanah. Perencanaan kota sering terhambat oleh para pemilik
tanah yang kuasa. Banyak korupsi besar-besaran terjadi dalam hubungan dengan
masalah tanah kota dan perencanaan kota. Meningkatnya spekulasi tanah, dan
sebagai akibatnya timbullah perbincangan yang semakin sering tentang perlunya
menasionalisasi tanah kota ke depan.
Perluasan kota
dan pengkaplingan tanah
Para ekolog kota berpendapat perlu
membedakan dua segi utama dari proses urbanisasi yaitu “perluasan dan agregasi”
yang pertama terutama merujuk pada pertumbuhan ruang lingkup kompleks kota, dan
yang kedua pada peningkatan konsentrasi penduduk di wilayah kota.
Perluasan kota bersamaan dengan
pengkaplingan dan pembagian pemilikan tanah, proses pengkaplingan di wilayah
perkotaan ini menghasilkan suatu pemusatan dari penempatan atas tanah pinggiran
kota sedangkat di pusat kota mengalami tingginya harga sewa menyewa.
Ketika kota meluas ke daerah
pinggiran, pertama sekali terjadi pembagian tanah yang luas. Namun kemudian
terjadi periode singkat pengumpulan kembali, ketika para pembangun kota
memborong tanah untuk perumahan. Akibatnya menurut Wolf terjadi banyak sekali
pemilikan tanah kecil, sementara pengumpulan kembali hanya terjadi sementara.
Suatu
wilayah yang baru saja berkembang menjadi pusat kota tambahan terdapat suatu
pola yang agak sama. Pembagian tanah selalu mendahului perkembangan kota.
Walaupun pada kesempatan tertentu, perkembangan kota yang di harapkan tidak
akan terjadi sekaligus seperti di tunjukan oleh telaah Parson.
Perluasan kota
dan spekulasi tanah
Di
banyak Negara berkembang, urbanisasi berlangsung tanpa industrialisasi dan
melampaui tingkat secara normal dapat di imbangi oleh struktur ekonomi dan
social interen dari Negara-negara bersangkutan. Kota-kota menyedot
sumber-sumber alami dari wilayah perdesaan alam bentuk pendatang-pendatang baru
atau pengiriman bahan-bahn pangan. Sedikit sekali umpan baliknya kepada daerah
perdesaan dalam bentuk penanaman modal swasta atau subsidi pemerintah. Tekanan
atas tanah kota dengan demikian meningkat, tidaknya oleh bertambahnya penduduk
kota, tetapi juga oleh kurangnya alternative terhadap kesempatan penanaman
modal.
Pelembagaan spekulasi tanah
mengurangi kepinggiran desa kota, karena daerah-daerah ini cenderung menjadi
objek spekulasi tanha, dan bukan objek perluasan serta pembangunan kota ini
antara lain mengakibatkan berlebihnya kepadatan penduduk di pusat kota dan
terbentuknya daerah-daerah miskin dengan kelas pekerja. Akibat lain dari
spekulasi tanah dan peningkatan harga tanah mungkin adalah perluasan daerah
liar (yaitu dimana norma-norma kepemilikan tanah di tegakkan) dan pembangunan
lompak katak.
Sewa-menyewa
Tanah
Sebagian banyak masyrakat agraris
secara umum mereka sebagai pemilik tanah yang
tinggal jauh dari tempatnya. Dan ketika tterjadi perkembangan ekonomi
maka tanah-tanah yang berada di pinggiran kota akan di miliki oleh elite-elite
kota. Di Asia Tenggara, dalam masa colonial Birma, bidang-bidang tanah
pertanian yang luas di ambil oleh kaum chetiar yang tinggal di Ragoon dan
nasionalis Birma yang awal sangat banyak memusatkan perhatian pada masalah persewaan
Tanah ( mahajani, 1960:68).
Dampak spekulasi tanah oleh elite
yang tinggal di kota terhadap tanah perdesaan sekeliling kota, dapat juga di
perlihatkan oleh contoh yang lebih baru di Thailand dan Indonesia. Ketika para
elite dari kota Thailand memborong tanah, Akibanya semakin meningkat keekurangan tanah dan tumbuhnya
lapisan proletariat desa di sekitar Bangkok. Dan hal ini di perkuat oleh
laporan FAO, UNDP dan Bangkok Bank yang
menyatakan sewa menyewa di pusat kota semakin meluas, terutama karena spekulasi
tanah umumnya oleh penduduk kota. Dan akhir-akhir ini sewa menyewa tanah di
Thailand tidak parah lagi. Pembahasan mengenai persewaan tanah tanpa
mempertimbangkan soal urbanisasi dan struktur social perkotaan akan
menyesatkan.
Di Indonesia, spekulasi tanah meraja
lela di Jakarta dan sekitarnya. Ternyata para pegawai tinggi pemerintah dan
para perwira militer sekarang terlibat dalam pemborongan tanah pertanian di
desa-desa.
Perubahan konsep pemilikan Tanah
Dalam proses spekulasi tanah, suatu
elite kota pemilik tanah berusaha menjangkau daerah pinggiran kota dan lebih
jauh lagi. Proses perluasan kota dan meluasnya secara fisik wilayah-wilaya yang
di bangun, selama ini telah di analisa dalam pengertian meningkatnya pembagian
tanah di daerah pinggiran kota dan perluasan wilaya kekuasaan elite kota
pemilik tanah. Selama abad pertengahan di eropa dan masih banyak bagian Asia
dan Afrika dewasa ini, tanah lebih di kuasai untuk di gunakan, bukan untuk
“dimiliki”(vance 1971:107) hak-hak guna tanah, adalah bagian integral dari
kewarganegaraan, maupun sebagai tanda keanggotaan seseorang dalam kelompok
kekeluargaan.
Salah satu di antara tugas pertama
yang dilakukan oleh suatu pemerintah colonial adalah pengukuran dan pendaftaran
tanah di kota. Hasil perkenalan konsep harta milik menurut pandangan Barat ini
biasanya bewujud system ganda tentang hak tanah yang membedakan antara hak
harta pribadi orang Barat di kota dan “Hak tanah Pribumi” wilayah perdesaan.
Di pihak lain, hak-hak tanah menurut
hokum adat di beberapa daerah Indonesia, jauh lebih kuat dari yang di
perkirakan semula dan lebih menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi baru
urbanisasi dan kepadatan kepadatan penduduk kota. Dengan meningkatnya kekuasaan
social dan ekonomi kelas atas kota dan upaya-upaya spekulatifnya,hak-hak tanah
pra-kapitalis di kurangi dan akibatnya kondisi social dan ekonomi golongan
petani pedesaan pinggiran kota menjadi melemah. Akibat yang sering terjadi dari
perkembangan ini adalah bercamburnya system sewa menyewa tanah kota, yang tidak
mempunyai dasar hukum yang nyata.
Penangganan yang terbatas dari
masalah yang sangat kompleks ini hanya di maksudkan untuk memberikan petunjuk
pendahuluan mengenai masalah-masalah yang bersangkutan dan untuk menarik
perhatian terhadap perlunya diadakan telaah lebih lanjut secara lebih
terperinci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar