Rabu, 07 Mei 2014

Gerakan Rakyat Melawan Korupsi

Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang sudah terjadi sejak adanya peradaban manusia, sehingga telah mendarah daging dan sangat sulit di berantas. Sebelum masa kemerdekaan hingga jauh pada masa kerajaan di tanah air, istilah korupsi juga belum di kenal. Pada masa itu istilah rampok,maling, jambret, tukang copet dan tindakan brutal lainnya adalah perilaku negatif untuk menggambarkan perilaku seseorang yang korup. Secara yuridis, istilah korupsi baru muncul pada tahun 1957. Waktu itu, penguasa militer angkatan darat dan Angkatan Laut mengeluarkan peraturan penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut RI Nomor PRT/PM/06/1957.
            Upaya pembrantasan korupsi di Indonesia baik yang melibatkan Negara sebagai institusi ataupun peran masyarakat, sebenarnya telah di lakukan sepanjang masa. Pada masa orde baru, tuntutan masyarakat akan pemerintahan bersih dan bebas KKN semakin menguat hingga akhirnya menumbangkan rezim berkuasa orde baru. Di bawah ini akan di uraikan lebih jauh tentang upaya kelompok masyarakat serta dinamika gerakan masyarakat sipil dalam mengawal isu-isu korupsi.

Membongkar Kesadaran Masyarakat Bisu

Dalam demokrasi rakyat mempunyai kuasa dan daulat atas sebuah Negara, meskipun kemudian dalam praktiknya di mandatkan kepada penyelenggara Negara. Dan para penyelenggara Negara harus bertanggung jawab kepada rakyat, artinya Negara mempunnyai tanggung jawab untuk memberikan manfaat kepada rakyatnya lewat berbagai kibijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan social tanpa diskriminatif.
            Kondisi masyarakat Indonesia setelah terjadinya reformasi politik 1998 hingga saat ini kondisi masyarakat terbelenggu dengan kekuatan “magis”. Reformasi yang telah terjadi belum mampu menjawab problem-poblem kemiskinan yang masih merajalela. Kondisi ini terjadi karena, Pertama mentalitas masyarakat yang masih bermental budak terhadap kekuasaan. Kedua, masyarakat kita Indonesia masih cukup nyaman dengan pola social feodalisme yang terbangun cukup kuat dalam kehidupan masyarakat. Situasi seperti inilah yang membuat kondisi bangsa ini gagap dan bisu atas sebuah kesadaran untuk melakukan perebutan atas hak-haknya guna mendapatkan kehidupan yang sejahtera.

PERLUASAN KOTA dan SEWA-MENYEWA TANAH

Kemajuan-kemajuan pesat telah di peroleh dalam memahami proses urbanisasi dan perubahan struktur social kota. Namun demikian ada satu segi yang di abaikan yaitu pemilikan tanah di kota. Hal ini lebih mengherankan lagi karena begitu banyak telaah yang telah di lakukan megenai sewa menyewa tanah di desa. Baik telaah sosiologi klasik seperti “the city” Max Weber, maupun telaah ekologi tidak member tekanan berat kepada masalah kepemilikan dan jual beli tanah di daerah perkotaan.
            Telaah modern seprti analisa wilayah social dari Shevky Bell telah memperkenalkan banyak variable dan analisa factor mengenai itu. Telaah awal dari Shevky Bell, maupun telaah yang lebih baru dan luas seperti yang di lakukan Berry dan Spodek (1971) tentang ekologi factor kota-kota besar india, telah memperkenalkan pemilikan tanah sebagai salah satu variable utamanya.
            Karya – karya umum yang menelaah bidang urbanisasi dalam Negara-negara baru berkembang mengabaikan sama sekali masalah pemilikan tanah. Tidak adanya perhatian ini sulit di terangkan. Pasti terdapat banyak masalah-masalah politik atau social yang berkaitan dengan pemilikan tanah kota. Keresahan kota sering di dasarkan atas sengketa antara pemilik dan penyewa tanah. Perencanaan kota sering terhambat oleh para pemilik tanah yang kuasa. Banyak korupsi besar-besaran terjadi dalam hubungan dengan masalah tanah kota dan perencanaan kota. Meningkatnya spekulasi tanah, dan sebagai akibatnya timbullah perbincangan yang semakin sering tentang perlunya menasionalisasi tanah kota ke depan.