Minggu, 07 April 2013

Bencana Tsunami dan Stres Pasca Trauma pada Anak


Gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam telah menghancurkan dan melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Namun demikian, bencana tsunami hanya menyisakan tidak lebih dari 10% traumatis. Stress pasca trauma tsunami pada masyarakat Aceh, termasuk anak-anak Aceh boleh dikatakan sembuh. Masyarakat Aceh dan anak-anak Aceh tidak menunjukkan simptom-simptom atau gejala stress pasca tsunami secara signifikan. Simptom-simpton atau gejala-gejala PTSD yang disebutkan Corner (1995) seperti di bawah ini tidak terdapat pada sebagian besar masyarakat dan anak-anak Aceh : (1) Reexperiencing, individu dengan Post-Traumatic Stress Disorders selalu mengingat kembali kejadian traumatisnya, kejadian traumatis tsunami itu seakan-akan terlihat selalu nyata dalam pikiran mereka dan mereka mengalami gangguan tidur karena mengalami mimpi buruk yang terkait dengan tsunami; (2)Individu dengan Post-Traumatic Stress Disorders selalu ingin menghindari kejadian-kejadian yang berhubungan dengan peristiwa traumatisnya atau bahkan mereka mencoba menghindari memikirkan kejadian traumatis tsunami tersebut.
Masyarakat Aceh bukan menghindari memikirkan akan tetapi menerima tsunami sebagai takdir Tuhan; (4)Terjadi “psychic numbing” atau “emotional anesthesia” yaitu kehilangan keinginan untuk berhubungan sosial dengan orang lain dan kehilangan minat pada aktivitas-aktivitas yang dulunya disukai. Pada awal kejadian tsunami gejala ini memang terjadi, akan tetapi tidak berlangsung lama sebab ketika penelitian dilakukan yaitu setahun pasca tsunami gejala ini sudah tidak dijumpai lagi; (4) Meningkatnya arousal yaitu meningkatnya kepekaan pada situasi-situasi tertentu seperti suara keras, kecemasan yang menyebabkan mereka sulit tidur dan tidak bisa tenang dan sulit berkonsentrasi, selain itu sering muncul perasaan bersalah sebab ia merasa “mengapa hanya dia yang selamat dari kejadian traumatis tersebut”. Meningkatnya arousal ini bukan disebabkan oleh tsunami, akan tetapi lebih disebabkan oleh pengalaman perang dan konflik yang panjang.
Sembilan puluh persen lebih masyarakat Aceh menerima bencana tsunami sebagai takdir Tuhan. Kekuatan nilai-nilai religiusitas bahwa tsunami adalah takdir Tuhan yang diiringi dengan keyakinan bahwa setelah penderitaan pasti akan datang kebahagiaan telah membentuk pola perilaku positif dalam menyikapi bencana tsunami. Pepatah atau motto hidup masyarakat Aceh yang diambil dari Al-Qur’an yaitu surat Al-insyiroh yang maknanya “Sesungguhnya bersama kesusahan itu adalah kebahagiaan” tersebut diinternalisasikan oleh para pemimpin Aceh. Para pemimpin Aceh: ulama, kepala dayah, pimpinan meunasah, kepala desa dan seluruh pihak di Aceh secara terus menerus menginternalisasikan motto ini melalui tulisan-tulisan yang dipasang hampir di setiap sudut desa, tempat penampungan, depan dayah dan meunasah. Dalam setiap kesempatan bertemu atau memberikan ceramah kepada masyarakatnya, para pemimpin Aceh juga berupaya menginternalisasikan keyakinan ini secara terus menerus. Di sisi lain, budaya masyarakat Aceh adalah budaya patuh, menghargai dan meyakini ”petuah” ulama. Dengan kedua kekuatan tersebut masyarakat Aceh termasuk anak-anak Aceh mampu menemukan “makna” secara cepat dibalik bencana tsunami. Mereka yakin bahwa akan datang kebaikan kepada mereka pasca tsunami; dan hal ini berpengaruh besar pada harapan positif ke depan dan rendahnya angka PTSD.
Faktor terkait yang membuat rendahnya angka PTSD pada masyarakat Aceh termasuk anak-anak Aceh adalah adanya nilai-nilai dan budaya positif yang dimiliki masyarakat Aceh. Nilai dan budaya tersebut jika dikaitkan dengan teori Viktor Frankl  yang dikemukakan pada tahun 1997 (dalam Boeree : 2006) adalah:  Experiential values (nilai-nilai pengalaman) dan Attitudinal values (pencapaian pemaknaan melalui penderitaan). Frankl yakin bahwa penderitaan dan pengalaman yang tidak menyenangkan atau bahkan menyakitkan dan pahit akan memberikan makna tersediri pada perjalanan hidupnya. Penemuan makna hidup bagi seorang individu bisa diperoleh melalui perjalanan hidupnya. Sejarah masyarakat Aceh yang penuh dengan peristiwa traumatis dari satu perang dan konflik  ke kondisi perang/konflik yang lain telah membuat mereka memiliki kekuatan psikologis tersendiri. Konflik bersenjata yang panjang menjadikan rakyat Aceh hidup penuh teror. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tidak berhasil menguasai wilayah Aceh secara total, ataupun mengusir TNI dari bumi Aceh; sebaliknya pemerintah Negara Republik Indonesia dengan kekuatan senjata dan politisnya tidak berhasil menundukkan dan melumpuhkan kekuatan GAM. Akhirnya, penderitaan panjang masyarakat sipil yang tidak terlibat dalam konflik harus menyaksikan dan mengalami: kekerasan dimana-mana, ketidakpastian hukum, angka kemiskinan yang terus meningkat, dan lain-lain. Oleh karena itu, bencana tsunami diyakini sebagai takdir Tuhan yang akan mengubah situasi dan kondisi sosial di Aceh ke arah positif. Dengan demikian, tsunami tidak meninggalkan traumatis pada sebagian besar masyarakat Aceh. Tsunami telah menumbuhkan motivasi dan semangat hidup yang lebih tinggi karena masyarakat Aceh yakin bahwa penderitaan hari ini hanyalah awal dari sebuah kebahagiaan di masa depan. Sementara itu, perhatian pemerintah dan dunia luar terhadap Aceh yang menjadi lebih besar pasca tsunami merupakan hikmah kebaikan untuk kehidupan mereka ke depan.
Pola kehidupan berkeluarga dalam budaya keluarga besar telah memberikan kekuatan positif kepada anak-anak Aceh dalam menerima takdir akibat tsunami. Hal tersebut dikarenakan mereka terbiasa memiliki banyak figur orang tua. Dengan demikian, penggantian figur orang tua karena ketiadaan orang tua kandung oleh sebab apapun tidak akan memberikan dampak stress berat pada sebagian besar anak-anak Aceh. Selain itu, pola keluarga besar atau komunal merupakan kondisi social support positif yang mampu membawa anggotanya pada dukungan yang positif untuk segera sembuh dari keadaan stres. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Wandersman, Elias and Dalton (2001) menekankan bahwa intervensi pasca bencana haruslah menekankan pada pemberdayaan komunitas (Empowering Community). Pola keluarga besar atau komunal ini relatif memudahkan atau mendukung intervensi sosial pada masyarakat Aceh untuk sembuh dan kembali pada kehidupan normal. Masyarakat Aceh menganggap tsunami sebagai penderitaan bersama yang mengharuskan mereka saling membantu untuk segera keluar dari penderitaan secara bersama-sama. 
Bantuan dari berbagai pihak secara cepat sebagai bagian dari program intervensi tsunami merupakan intervensi sosial yang dapat mempercepat pengembalian korban bencana termasuk anak-anak pada kehidupan normal. Masyarakat Aceh membutuhkan banyak relawan dan bantuan dari banyak pihak untuk proses akselerasi program pembelajaran pada anak karena tugas perkembangan anak untuk belajar dan bersekolah harus terus berjalan normal; padahal orang tua dan masyarakat Aceh masih disibukkan untuk mengembalikan normalisasi kehidupan psikologis mereka secara pribadi dan memulai menata kembali sendi-sendi kehidupan yang hancur akibat bencana. Untuk itu, kehadiran dan peran relawan dari berbagai pihak yang turut mengembangkan pola pembelajaran kepada anak-anak pasca bencana memberikan pengaruh positif pada perkembangan psikologis anak. Akselerasi program pembelajaran pada anak-anak pasca bencana merupakan kebutuhan primer bagi anak-anak. Hal ini seiring dengan  hasil penelitian Kliewer et al (1998) yang menyebutkan bahwa intervensi pada anak-anak akan lebih efektif jika penanganannya diintegrasikan dalam sebuah proses pembelajaran. Pasca bencana menyebabkan proses pembelajaran akan terhenti, padahal terhentinya proses pembelajaran pada anak dapat menimbulkan dampak negatif, seperti : menurunnya motivasi belajar, anak menjadi malas belajar, ketidakinginan memanfaatkan waktu untuk belajar dan lain-lain. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus segera dapat dikembalikan seperti semula sehingga kebutuhan psikologis anak korban tsunami yang utama dapat terpenuhi yaitu kelangsungan proses pendidikan untuk mendukung perkembangan daya kognitifnya.
            Sumber stress bagi masyarakat Aceh pasca tsunami yang dirasa kurang positif bagi perkembangan anak-anak adalah adanya isu-isu tentang penculikan anak, kristenisasi anak-anak, penjualan anak dan lain-lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sampai dengan hari dimana penelitian ini dilakukan trauma atau stress berat pada masyarakat Aceh masih terus berlangsung, hanya saja sumbernya tidak berasal dari tsunami akan tetapi berasal dari hal yang lain. Davison & Neale (1996) mengemukakan bahwa stres dialami oleh seseorang jika lingkungan dimana individu berada memberikan tekanan-tekanan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidakamanan secara fisik maupun psikologis. Isu-isu tentang penculikan anak, kristenisasi anak-anak, penjualan anak dan lain-lain membuat masyarakat Aceh melakukan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas anak-anak. Akibatnya, anak-anak memiliki ruang gerak dan ruang berekspresi yang terbatas. Hal ini tentu kurang positif untuk perkembangan emosi anak-anak Aceh secara umum.

1 komentar:

  1. boleh tahu referensi artikel/jurnal/penelitian yang mengatakan tidak ada trauma tsunami lagi di aceh? saya diminta untuk penelitian pasca 10 tahun tsunami, tentang trauma. saya kira itu sudah lama sekali. Tapi saya bingung menjelaskan ke dosen kalau sudah tidak ada trauma lagi, saya tidak punya bukti.
    terimakasih banyak :)

    BalasHapus