Bencana Tsunami dan Stres Pasca Trauma pada Anak
Gempa bumi dan tsunami di Nangroe Aceh Darussalam
telah menghancurkan dan melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Namun
demikian, bencana tsunami hanya menyisakan tidak lebih dari 10% traumatis.
Stress pasca trauma tsunami pada masyarakat Aceh, termasuk anak-anak Aceh boleh
dikatakan sembuh. Masyarakat Aceh dan anak-anak Aceh tidak menunjukkan
simptom-simptom atau gejala stress pasca tsunami secara signifikan.
Simptom-simpton atau gejala-gejala PTSD yang disebutkan Corner (1995) seperti
di bawah ini tidak terdapat pada sebagian besar masyarakat dan anak-anak Aceh :
(1) Reexperiencing, individu dengan Post-Traumatic Stress Disorders selalu
mengingat kembali kejadian traumatisnya, kejadian traumatis tsunami itu
seakan-akan terlihat selalu nyata dalam pikiran mereka dan mereka mengalami
gangguan tidur karena mengalami mimpi buruk yang terkait dengan tsunami;
(2)Individu dengan Post-Traumatic Stress Disorders selalu ingin menghindari
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan peristiwa traumatisnya atau bahkan
mereka mencoba menghindari memikirkan kejadian traumatis tsunami tersebut.
Masyarakat Aceh bukan menghindari memikirkan akan tetapi menerima tsunami
sebagai takdir Tuhan; (4)Terjadi “psychic numbing” atau “emotional anesthesia”
yaitu kehilangan keinginan untuk berhubungan sosial dengan orang lain dan
kehilangan minat pada aktivitas-aktivitas yang dulunya disukai. Pada awal
kejadian tsunami gejala ini memang terjadi, akan tetapi tidak berlangsung lama
sebab ketika penelitian dilakukan yaitu setahun pasca tsunami gejala ini sudah
tidak dijumpai lagi; (4) Meningkatnya arousal yaitu meningkatnya kepekaan pada
situasi-situasi tertentu seperti suara keras, kecemasan yang menyebabkan mereka
sulit tidur dan tidak bisa tenang dan sulit berkonsentrasi, selain itu sering
muncul perasaan bersalah sebab ia merasa “mengapa hanya dia yang selamat dari
kejadian traumatis tersebut”. Meningkatnya arousal ini bukan disebabkan oleh
tsunami, akan tetapi lebih disebabkan oleh pengalaman perang dan konflik yang
panjang.
Sembilan puluh persen lebih masyarakat Aceh
menerima bencana tsunami sebagai takdir Tuhan. Kekuatan nilai-nilai
religiusitas bahwa tsunami adalah takdir Tuhan yang diiringi dengan keyakinan
bahwa setelah penderitaan pasti akan datang kebahagiaan telah membentuk pola
perilaku positif dalam menyikapi bencana tsunami. Pepatah atau motto hidup
masyarakat Aceh yang diambil dari Al-Qur’an yaitu surat Al-insyiroh yang
maknanya “Sesungguhnya bersama kesusahan itu adalah kebahagiaan” tersebut
diinternalisasikan oleh para pemimpin Aceh. Para pemimpin Aceh: ulama, kepala
dayah, pimpinan meunasah, kepala desa dan seluruh pihak di Aceh secara terus
menerus menginternalisasikan motto ini melalui tulisan-tulisan yang dipasang
hampir di setiap sudut desa, tempat penampungan, depan dayah dan meunasah.
Dalam setiap kesempatan bertemu atau memberikan ceramah kepada masyarakatnya,
para pemimpin Aceh juga berupaya menginternalisasikan keyakinan ini secara
terus menerus. Di sisi lain, budaya masyarakat Aceh adalah budaya patuh,
menghargai dan meyakini ”petuah” ulama. Dengan kedua kekuatan tersebut
masyarakat Aceh termasuk anak-anak Aceh mampu menemukan “makna” secara cepat
dibalik bencana tsunami. Mereka yakin bahwa akan datang kebaikan kepada mereka
pasca tsunami; dan hal ini berpengaruh besar pada harapan positif ke depan dan
rendahnya angka PTSD.
Faktor terkait yang membuat rendahnya angka PTSD
pada masyarakat Aceh termasuk anak-anak Aceh adalah adanya nilai-nilai dan
budaya positif yang dimiliki masyarakat Aceh. Nilai dan budaya tersebut jika
dikaitkan dengan teori Viktor Frankl yang dikemukakan pada tahun 1997
(dalam Boeree : 2006) adalah: Experiential values (nilai-nilai
pengalaman) dan Attitudinal values (pencapaian pemaknaan melalui penderitaan).
Frankl yakin bahwa penderitaan dan pengalaman yang tidak menyenangkan atau
bahkan menyakitkan dan pahit akan memberikan makna tersediri pada perjalanan
hidupnya. Penemuan makna hidup bagi seorang individu bisa diperoleh melalui
perjalanan hidupnya. Sejarah masyarakat Aceh yang penuh dengan peristiwa
traumatis dari satu perang dan konflik ke kondisi perang/konflik yang
lain telah membuat mereka memiliki kekuatan psikologis tersendiri. Konflik
bersenjata yang panjang menjadikan rakyat Aceh hidup penuh teror. Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) tidak berhasil menguasai wilayah Aceh secara total, ataupun
mengusir TNI dari bumi Aceh; sebaliknya pemerintah Negara Republik Indonesia
dengan kekuatan senjata dan politisnya tidak berhasil menundukkan dan
melumpuhkan kekuatan GAM. Akhirnya, penderitaan panjang masyarakat sipil yang
tidak terlibat dalam konflik harus menyaksikan dan mengalami: kekerasan
dimana-mana, ketidakpastian hukum, angka kemiskinan yang terus meningkat, dan
lain-lain. Oleh karena itu, bencana tsunami diyakini sebagai takdir Tuhan yang
akan mengubah situasi dan kondisi sosial di Aceh ke arah positif. Dengan
demikian, tsunami tidak meninggalkan traumatis pada sebagian besar masyarakat
Aceh. Tsunami telah menumbuhkan motivasi dan semangat hidup yang lebih tinggi
karena masyarakat Aceh yakin bahwa penderitaan hari ini hanyalah awal dari
sebuah kebahagiaan di masa depan. Sementara itu, perhatian pemerintah dan dunia
luar terhadap Aceh yang menjadi lebih besar pasca tsunami merupakan hikmah kebaikan
untuk kehidupan mereka ke depan.
Pola kehidupan berkeluarga dalam budaya keluarga
besar telah memberikan kekuatan positif kepada anak-anak Aceh dalam menerima
takdir akibat tsunami. Hal tersebut dikarenakan mereka terbiasa memiliki banyak
figur orang tua. Dengan demikian, penggantian figur orang tua karena ketiadaan
orang tua kandung oleh sebab apapun tidak akan memberikan dampak stress berat
pada sebagian besar anak-anak Aceh. Selain itu, pola keluarga besar atau
komunal merupakan kondisi social support positif yang mampu membawa anggotanya
pada dukungan yang positif untuk segera sembuh dari keadaan stres. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Wandersman, Elias and Dalton (2001) menekankan bahwa
intervensi pasca bencana haruslah menekankan pada pemberdayaan komunitas
(Empowering Community). Pola keluarga besar atau komunal ini relatif memudahkan
atau mendukung intervensi sosial pada masyarakat Aceh untuk sembuh dan kembali
pada kehidupan normal. Masyarakat Aceh menganggap tsunami sebagai penderitaan bersama
yang mengharuskan mereka saling membantu untuk segera keluar dari penderitaan
secara bersama-sama.
Bantuan dari berbagai pihak secara cepat sebagai
bagian dari program intervensi tsunami merupakan intervensi sosial yang dapat
mempercepat pengembalian korban bencana termasuk anak-anak pada kehidupan
normal. Masyarakat Aceh membutuhkan banyak relawan dan bantuan dari banyak
pihak untuk proses akselerasi program pembelajaran pada anak karena tugas
perkembangan anak untuk belajar dan bersekolah harus terus berjalan normal;
padahal orang tua dan masyarakat Aceh masih disibukkan untuk mengembalikan
normalisasi kehidupan psikologis mereka secara pribadi dan memulai menata
kembali sendi-sendi kehidupan yang hancur akibat bencana. Untuk itu, kehadiran
dan peran relawan dari berbagai pihak yang turut mengembangkan pola
pembelajaran kepada anak-anak pasca bencana memberikan pengaruh positif pada
perkembangan psikologis anak. Akselerasi program pembelajaran pada anak-anak
pasca bencana merupakan kebutuhan primer bagi anak-anak. Hal ini seiring
dengan hasil penelitian Kliewer et al (1998) yang menyebutkan bahwa
intervensi pada anak-anak akan lebih efektif jika penanganannya diintegrasikan
dalam sebuah proses pembelajaran. Pasca bencana menyebabkan proses pembelajaran
akan terhenti, padahal terhentinya proses pembelajaran pada anak dapat
menimbulkan dampak negatif, seperti : menurunnya motivasi belajar, anak menjadi
malas belajar, ketidakinginan memanfaatkan waktu untuk belajar dan lain-lain.
Oleh karena itu, proses pembelajaran harus segera dapat dikembalikan seperti
semula sehingga kebutuhan psikologis anak korban tsunami yang utama dapat
terpenuhi yaitu kelangsungan proses pendidikan untuk mendukung perkembangan
daya kognitifnya.
Sumber stress bagi masyarakat Aceh pasca tsunami yang dirasa kurang positif
bagi perkembangan anak-anak adalah adanya isu-isu tentang penculikan anak,
kristenisasi anak-anak, penjualan anak dan lain-lain. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sampai dengan hari dimana penelitian ini dilakukan trauma atau
stress berat pada masyarakat Aceh masih terus berlangsung, hanya saja sumbernya
tidak berasal dari tsunami akan tetapi berasal dari hal yang lain. Davison
& Neale (1996) mengemukakan bahwa stres dialami oleh seseorang jika lingkungan
dimana individu berada memberikan tekanan-tekanan sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan dan ketidakamanan secara fisik maupun psikologis. Isu-isu
tentang penculikan anak, kristenisasi anak-anak, penjualan anak dan lain-lain
membuat masyarakat Aceh melakukan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas
anak-anak. Akibatnya, anak-anak memiliki ruang gerak dan ruang berekspresi yang
terbatas. Hal ini tentu kurang positif untuk perkembangan emosi anak-anak Aceh
secara umum.
boleh tahu referensi artikel/jurnal/penelitian yang mengatakan tidak ada trauma tsunami lagi di aceh? saya diminta untuk penelitian pasca 10 tahun tsunami, tentang trauma. saya kira itu sudah lama sekali. Tapi saya bingung menjelaskan ke dosen kalau sudah tidak ada trauma lagi, saya tidak punya bukti.
BalasHapusterimakasih banyak :)