Hampir
di setiap pelosok, warung kopi selalu menjadi tempat favorit semua kalangan
untuk berdiskusi atau rehat. Tempat favorit yang teramat populer untuk
mengobrol segala rupa permasalahan adalah warung kopi. Di tempat ini kita bisa
dengan mudah bertemu dengan segala macam status sosial. Dari mulai profesi
jalanan hingga kantoran. Di warung kopi pulalah, obrolan ringan hingga yang
rumit di bicarakan. Mau bicara politik? Boleh. Mau bicara masalah sosial?
Silahkan. Mau mengobrol Tim Sepakbola ? nggak jadi masalah. Tak ada mediator,
komentator, natulen maupun nara sumber. Warung kopi lebih mirip merupakan
representasi gedung mungil suara rakyat. Suara rakyat kebanyakan yang
menggunakan daya nalarnya mencoba memahami semua peristiwa yang menghampiri
kehidupan berbangsa, beragama dan bernegara. Mereka menggunakan mata, telingga
sebagai mana kita orang awam memahaminya.
Segala berita, telah mengalami begitu
rupa transformasi yang dicerna menjadi opini publik, lalu dibicarakan dengan
santai di warung kopi. Di warung kopi kaya-miskin sama. Bahkan, ada jargon di
kalangan muda-mudi, “Tak gaul kalau tidak ngopi”. Belanda mempunyai peran
penting dalam membudidayakan tanaman kopi di Indonesia. Mereka telah
memperkenalkan tanaman Kopi Arabika (coffea arabica L.) di Pulau Jawa
pada tahun 1699. Di Aceh, tepatnya di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, mereka
mulai membangun perkebunan Kopi Arabika pada tahun 1924 di daerah Paya Tumpi.
Kini, Dataran Tinggi Gayo yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
secara nasional menjadi kawasan tanaman Kopi Arabika terluas di Indonesia.
Warung
kopi teramat istimewa bagi orang-orang kebanyakan, orang-orang dengan kategori
“bukan siapa-siapa”. Tak ada yang lebih tinggi status sosial ataupun terlalu
rendah, mereka sama. Sama-sama pengemar berat kopi, Aroma kopi yang harum
merepresentasikan gairah semangat. Meminumnya membangkitkan motivasi,
melahirkan ide segar. Di warung kopi pulalah, orang-orang bercengkrama, membuat
janji, atau sekedar bersantai melepas penat. Warung kopi yang berada di pulau
Jawa selain menjual kopi juga memperdagangkan mie-instan. Kopi yang ditawarkan
adalah kopi-kopi racikan pabrik per-sachet (bungkus). Akan tetapi warung kopi
yang terkenal khasnya adalah kedai-kedai kopi yang ada di Aceh. Pedagang kopi
Aceh, memperlakukan kopi secara istimewa. Berkali-kali kopi itu direbus dan
disaring dengan menggunakan semacam gayung yang dilengkapi kain untuk
memisahkan antara ampas kopi dengan rebusan air, sehingga dihasilkan warna kopi
begitu menarik, hitam yang jernih. Ketika dinikmati, tanpa harus khawatir
terminum ampasnya. Rasanya sangat menyatu antara kopi dan air, sedemikian rupa.
Tukang pembuat kopi mengayunkan alat penyaring kopi seperti berirama
berkali-kali diayunkan, hingga cukup pencampurannya. Kopi disajikan
bersama-sama kue-kue khas Aceh. Tidak banyak macamnya. Untuk gula telah
disediakan di meja, tinggal pengunjung yang menambahkan gula sesuai selera yang
diinginkannya. Ingin manis, agak manis, atau manis sekali, terserah kepada
konsumen sendiri untuk menakar jumlah gula pada gelas. Kopi selalu menjadi
teman kita untuk mengawali hari, atau daya berpikir kita mulai
"meredup" di sore hari. Nongkrong di warung kopi sudah menjadi budaya
bagi masyarakat Aceh. Aceh memang terkenal dengan daerah 1.001 warung kopi.
Berikut
ini beberapa tempat untuk kita dapat mencicipi kenikmatan kopi Tanah Rencong
yang telah banyak dikunjungi masyarakat Banda Aceh atau dari kota lain di Indonesia, bahkan juga dari luar negeri.
1. Dhapu
Kupi di Simpang Surabaya, Banda Aceh tidak jauh dari Mesjid Baiturrahman dan
Bandara Iskandar Muda. Pemandangan kota Banda Aceh yang semakin rapih dan
cantik dari lantai atasnya sungguh spektakuler.
2. Warkop
Solong di Ulee Kareng, Lampenurut, dan di beberapa tempat lainnya di Banda Aceh
karena cabangnya yang semakin menyebar. Warung Kopi ini memiliki konsumen yang
menyukai kopi yang sedikit lebih kuat aromanya dari kopi biasa.
3. Ring
Road Coffee di stasiun bus Banda Aceh yang paling meriah dari semua yang ada
karena di sini para pemuda sering duduk minum kopi sambil melihat pertandingan
sepak bola.
4. Tower
Kopi di depan Taman Sari Banda Aceh dan hanya 100 meter dari Masjid
Baiturrahman adalah tempat berkumpulnya masyarakat kota untuk duduk di luar
ruang dan menghadap meja dengan kehangatan kopi kuat Aceh yang harum.
5. Coffee
Bay yang terletak di Ule Lheue ke arah pelabuhan sangat populer bagi para
pelancong yang menginginkan rasa kopi Aceh sebelum menyebrang ke Pulau Weh.
Kopi
dan ngopi ala Aceh telah berlangsung begitu lama. Tidak serta merta ada di
daerah ini. Mengacu pada beberapa pendapat, tampaknya kebiasaan ini telah
berlangsung lama. Tentunya, kebiasaan melalui sebuah proses yang begitu
panjang. Dalam perjalanan sejarahnya, kebiasaan ini mengalami berbagai
perubahan. Misalnya, sebelum tsunami, rata-rata pengunjung warung kopi adalah
kaum adam (laki-laki) sedangkan kaum hawa jarang sekali.
Selain
itu, warung kopi yang ada pada saat ini dilengkapi berbagai hal yang menunjang
keberadaan mereka berlama-lama di warung kopi, seperti TV, fasilitas internet,
dan sebagainya. Warung kopi pada akhirnya menjadi ruang publik
multifungsi.Tidak hanya sebagai tempat minum kopi saja/ngopi tetapi juga
berfungsi sebagai tempat aspirasi, bisnis, belajar, dan sebagainya. Selain itu
menjadi sebuah trend atau popular dari masyarakat khususnya para remaja serta
pemuda di daerah ini didalam menikmati weekend serta ajang berkumpul sebuah
komunitas dikelompoknya masing-masing.
Tentunya,
warung kopi yang menjadi ajang kunjungan orang dan begitu fenomenal, sehingga
ada yang berpendapat bahwa Aceh dapat disebutkan sebagai negeri seribu warung
kopi. Kondisi ini sangat lah menguntungkan sebagai asset pariwisata. Kebiasaan
yang sangat berbeda dengan tempat-tempat lain menjadikannya amat menarik bagi
wisatawan, baik wisatawan domestic dan wisatawan mancanegara. Tinggal bagaimana
mengemas potensi ini menjadi suatu yang menarik oleh masyarakat Aceh beserta
pemerintah daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar