Jumat, 12 Oktober 2012

KEUDE KUPI ACEH


Hampir di setiap pelosok, warung kopi selalu menjadi tempat favorit semua kalangan untuk berdiskusi atau rehat. Tempat favorit yang teramat populer untuk mengobrol segala rupa permasalahan adalah warung kopi. Di tempat ini kita bisa dengan mudah bertemu dengan segala macam status sosial. Dari mulai profesi jalanan hingga kantoran. Di warung kopi pulalah, obrolan ringan hingga yang rumit di bicarakan. Mau bicara politik? Boleh. Mau bicara masalah sosial? Silahkan. Mau mengobrol Tim Sepakbola ? nggak jadi masalah. Tak ada mediator, komentator, natulen maupun nara sumber. Warung kopi lebih mirip merupakan representasi gedung mungil suara rakyat. Suara rakyat kebanyakan yang menggunakan daya nalarnya mencoba memahami semua peristiwa yang menghampiri kehidupan berbangsa, beragama dan bernegara. Mereka menggunakan mata, telingga sebagai mana kita orang awam memahaminya. 


Segala berita, telah mengalami begitu rupa transformasi yang dicerna menjadi opini publik, lalu dibicarakan dengan santai di warung kopi. Di warung kopi kaya-miskin sama. Bahkan, ada jargon di kalangan muda-mudi, “Tak gaul kalau tidak ngopi”. Belanda mempunyai peran penting dalam membudidayakan tanaman kopi di Indonesia. Mereka telah memperkenalkan tanaman Kopi Arabika (coffea arabica L.) di Pulau Jawa pada tahun 1699. Di Aceh, tepatnya di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, mereka mulai membangun perkebunan Kopi Arabika pada tahun 1924 di daerah Paya Tumpi. Kini, Dataran Tinggi Gayo yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah secara nasional menjadi kawasan tanaman Kopi Arabika terluas di Indonesia.
Warung kopi teramat istimewa bagi orang-orang kebanyakan, orang-orang dengan kategori “bukan siapa-siapa”. Tak ada yang lebih tinggi status sosial ataupun terlalu rendah, mereka sama. Sama-sama pengemar berat kopi, Aroma kopi yang harum merepresentasikan gairah semangat. Meminumnya membangkitkan motivasi, melahirkan ide segar. Di warung kopi pulalah, orang-orang bercengkrama, membuat janji, atau sekedar bersantai melepas penat. Warung kopi yang berada di pulau Jawa selain menjual kopi juga memperdagangkan mie-instan. Kopi yang ditawarkan adalah kopi-kopi racikan pabrik per-sachet (bungkus). Akan tetapi warung kopi yang terkenal khasnya adalah kedai-kedai kopi yang ada di Aceh. Pedagang kopi Aceh, memperlakukan kopi secara istimewa. Berkali-kali kopi itu direbus dan disaring dengan menggunakan semacam gayung yang dilengkapi kain untuk memisahkan antara ampas kopi dengan rebusan air, sehingga dihasilkan warna kopi begitu menarik, hitam yang jernih. Ketika dinikmati, tanpa harus khawatir terminum ampasnya. Rasanya sangat menyatu antara kopi dan air, sedemikian rupa. Tukang pembuat kopi mengayunkan alat penyaring kopi seperti berirama berkali-kali diayunkan, hingga cukup pencampurannya. Kopi disajikan bersama-sama kue-kue khas Aceh. Tidak banyak macamnya. Untuk gula telah disediakan di meja, tinggal pengunjung yang menambahkan gula sesuai selera yang diinginkannya. Ingin manis, agak manis, atau manis sekali, terserah kepada konsumen sendiri untuk menakar jumlah gula pada gelas. Kopi selalu menjadi teman kita untuk mengawali hari, atau daya berpikir kita mulai "meredup" di sore hari. Nongkrong di warung kopi sudah menjadi budaya bagi masyarakat Aceh. Aceh memang terkenal dengan daerah 1.001 warung kopi.
Berikut ini beberapa tempat untuk kita dapat mencicipi kenikmatan kopi Tanah Rencong yang telah banyak dikunjungi masyarakat Banda Aceh atau dari kota lain di  Indonesia, bahkan juga dari luar negeri. 
1.      Dhapu Kupi di Simpang Surabaya, Banda Aceh tidak jauh dari Mesjid Baiturrahman dan Bandara Iskandar Muda. Pemandangan kota Banda Aceh yang semakin rapih dan cantik dari lantai atasnya sungguh spektakuler. 
2.      Warkop Solong di Ulee Kareng, Lampenurut, dan di beberapa tempat lainnya di Banda Aceh karena cabangnya yang semakin menyebar. Warung Kopi ini memiliki konsumen yang menyukai kopi yang sedikit lebih kuat aromanya dari kopi biasa. 
3.      Ring Road Coffee di stasiun bus Banda Aceh yang paling meriah dari semua yang ada karena di sini para pemuda sering duduk minum kopi sambil melihat pertandingan sepak bola.
4.      Tower Kopi di depan Taman Sari Banda Aceh dan hanya 100 meter dari Masjid Baiturrahman adalah tempat berkumpulnya masyarakat kota untuk duduk di luar ruang dan menghadap meja dengan kehangatan kopi kuat Aceh yang harum. 
5.      Coffee Bay yang terletak di Ule Lheue ke arah pelabuhan sangat populer bagi para pelancong yang menginginkan rasa kopi Aceh sebelum menyebrang ke Pulau Weh.


Kopi dan ngopi ala Aceh telah berlangsung begitu lama. Tidak serta merta ada di daerah ini. Mengacu pada beberapa pendapat, tampaknya kebiasaan ini telah berlangsung lama. Tentunya, kebiasaan melalui sebuah proses yang begitu panjang. Dalam perjalanan sejarahnya, kebiasaan ini mengalami berbagai perubahan. Misalnya, sebelum tsunami, rata-rata pengunjung warung kopi adalah kaum adam (laki-laki) sedangkan kaum hawa jarang sekali.
Selain itu, warung kopi yang ada pada saat ini dilengkapi berbagai hal yang menunjang keberadaan mereka berlama-lama di warung kopi, seperti TV, fasilitas internet, dan sebagainya.  Warung kopi pada akhirnya menjadi ruang publik multifungsi.Tidak hanya sebagai tempat minum kopi saja/ngopi tetapi juga berfungsi sebagai tempat aspirasi, bisnis, belajar, dan sebagainya. Selain itu menjadi sebuah trend atau popular dari masyarakat khususnya para remaja serta pemuda di daerah ini didalam menikmati weekend serta ajang berkumpul sebuah komunitas dikelompoknya masing-masing. 
Tentunya, warung kopi yang menjadi ajang kunjungan orang dan begitu fenomenal, sehingga ada yang berpendapat bahwa Aceh dapat disebutkan sebagai negeri seribu warung kopi. Kondisi ini sangat lah menguntungkan sebagai asset pariwisata. Kebiasaan yang sangat berbeda dengan tempat-tempat lain menjadikannya amat menarik bagi wisatawan, baik wisatawan domestic dan wisatawan mancanegara. Tinggal bagaimana mengemas potensi ini menjadi suatu yang menarik oleh masyarakat Aceh beserta pemerintah daerah. 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar